Setelah jam pelajaran usai, tantangan belajar Hastu Wijaya Sri (11) baru mulai. Siswi yang memiliki keterbatasan pendengaran itu harus belajar lebih giat di rumah. Dia harus belajar lebih giat agar bisa mengimbangi kemampuan pelajar lain di kelas 5 SD Gejayan.
Hastu merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) kurang pendengaran yang menempuh pendidikan di sekolah umum. “Belajar dengan bapak di rumah,” ujar Hastu menguraikan kegiatannya seusai kegiatan belajar di sekolah usai. Pembelajaran bersama orang tua mengantarkan Hastu juara II lomba Matematika pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Sementara saat pembelajaran di kelas, Hastu hanya bisa mengikuti pelajaran dengan memperhatikan gerak mulut guru. Sehingga bila guru menerangkan sambil membelakangi, dia tidak bisa menangkap yang disampaikan Hastu bercita-cita menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, meski tantangan belajarnya dua kali lebih berat dibanding orang lain.
Harus belajar di sekolah seperti anak normal, belajar di rumah mengejar ketertinggalan dibanding anak normal dan memaksimalkan keterbatasanfi sik yang dimiliki. Lilis Nur Indah Sari (11), ABK di kelas yang sama harus mengejar ketertinggalan dengan ikut les. “Les Matematika dan Bahasa Inggris,” ujar Lilis menguraikan kegiatan belajarnya seusai jam sekolah purna.
Sementara, Krisni Nugrahening Dwi Lestari (12) dan Irwan Adi Saputro (12), ABK di kelas yang sama tidak mengikuti pembelajaran tambahan di luar sekolah. Ke duanya belajar sendiri dan terkadang ditemani anggota keluarganya.
Anastasia Murtiningsih, guru pendamping khusus (GPK) SD Gejayan menguraikan, tidak semua ABK di sekolahnya beruntung. Memiliki kelebihan ekonomi, sehingga mampu memberi pembelajaran tambahan dan pendampingan. Intervensi pembelajaran perlu, sebab ABK menghadapi ujian akhir nasional (UAN) lazimnya siswa normal nantinya. Padahal tidak semua
ABK memiliki kecerdasan seperti siswa lain.
ABK memiliki kecerdasan seperti siswa lain.
“Ada beberapa yang slow learer, susah bila harus sama dengan yang lain (bila tanpa intervensi),” ujarnya. Parahnya sampai sekarang belum ada kurikulum standar pembelajaran ABK, sehingga berkreasi di kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ningsih menambahkan, pengelolaan sekolah inklusi bila tanpa persiapan matang, mulai kurikulum, GPK, berpotensi memperlambat pembelajaran siswa normal lain.
((sumber: http://www.solopos.com/2009/harian-jogja/kota-jogja/kurikulum-terbatas-siswa-terpaksa-belajar-lebih-giat-135450)
((sumber: http://www.solopos.com/2009/harian-jogja/kota-jogja/kurikulum-terbatas-siswa-terpaksa-belajar-lebih-giat-135450)
Komentar
Posting Komentar